Jumat, 03 Agustus 2012

Laa Ilaha Ilallah


Laa ilaaha illallah yang bermakna Laa ma’buda bi hakkin Illallah (tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah SWT) merupakan mahkota dan landasan iman seseorang dan sebagai pintu utama masuknya nilai-nilai tauhid kedalam hati seseorang yang kemudian ia membenarkan apa yang wajib diimani dan membuktikannya dengan amal perbuatan yang nyata.
Kalimat tauhid ini mempunyai dua unsur pengertian ada yang berarti “meniadakan”,yaitu menngingkari setiap unsur pribadi yang menyatakan hakikatnya sebagai Tuhan selain Allah SWT. Dan ada yang berarti “Mengitsbatkan” yaitu kallimat yang menetapkan tentang hakikat ketuhanan yang Esa yaitu Allah SWT.

Kalimat Laa ilaaha illallah yang didahului dengan huruf Nafi (لا) berarti meniadakan sesuatu, dan kemudian diikuti oleh huruf Istitsna’ (الا) berarti mengecualikan yang tidak ada menjadi ada, yaitu Allah SWT, Tuhan yang mencipta dan mengatur alam semesta ini.

Allah SWT berfirman : 

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang kelangit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (QS Ibrahim: 24-25)
Yang dimaksud dengan kalimat yang baik pada ayat diatas adalah kalimat Tauhid dimana akarnya adalah membenarkan dalam hati, sedang cabangnya pengucapkan dengan lisan dan buahnya adalah perbuatan melalui anggota badan.
Ibnu Katsir menafsirkan firman Allah SWT yang berbunyi:
“Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh pada buhul tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah : 256)

Bahwa orang yang telah melepaskan diri dari belenggu syaithan yang selalu mengajak untuk menyembah selain Allah dan ia mengesakan Allah, lau menyembah-NYA hanya kepada-NYA dan dia bersaksi tiada tuhan selain Allah, maka dia telah berpengang teguh kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus yaitu pada jalan yang benar. 

Menurut Imam mujahid dalam tafsirnya, bahwa tali yang kuat adalah Iman, sedangkan menurut Said Jubair dan Adh Dhahhak bahwa tali yang kuat adalah kalimat Laa ilaaha illallah. Suatu ketika ada seseorang yang berkata kepada Hasan Al Bashri “Sesungguhnya manusia banyak yang mengatakan bahwa orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah pasti ia akan masuk Syurga”. Kemudian Hasan Al Bashri meluruskan dan menyempurnakan pendapat tersebut dan berkata “orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah lalu dia melaksanakan hak dan kewajibannya maka orang itu akan masuk Surga”
Wahab bin Munabbih telah ditanyakan, ”Bukankah kunci surga adalah laa ilaha illallah?” Beliau rahimahullah menjawab,”Iya betul. Namun, setiap kunci itu pasti punya gerigi. Jika kamu memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, pintu tersebut akan terbuka. Jika tidak demikian, pintu tersebut tidak akan terbuka.” Beliau rahimahullah mengisyaratkan bahwa gerigi tersebut adalah syarat-syarat kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar I/179-180)

Dari hasil penelusuran dan penelitian terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama menyimpulkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima kecuali dengan memenuhi tujuh syarat berikut :
1.           Ilmu yang tidak dicampuri dengan kejahilan.
2.           Keyakinan yang tidak dicampuri dengan keraguan.
3.           Ikhlas dengan tidak dicampuri dengan syirik.
4.           Kejujuran yang tidak dicampuri oleh dusta.
5.           Cinta yang tidak dicampuri oleh kebencian.
6.           Ketaatan yang tidak dicampuri oleh pembangkangan.
7.           Penerimaan yang tidak dicampuri oleh penolakan.

Penjelasan 7 syarat Laa Ilaha Ilallah : 

Syarat Pertama: 'Ilmu (Mengetahui). Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya). (Az-Zukhruf: 86)
Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Sean-dainya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.

Syarat kedua: Yaqin (yakin). Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan syahadat itu. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mere-ka tidak ragu-ragu ..." (Al-Hujurat: 15)

Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga." (HR. Al-Bukhari) Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.
 
Syarat ketiga: Ikhlas. Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya' atau sum'ah. Dalam hadits 'Itban, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illalah karena menginginkan ridha Allah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syarat Keempat: Shidq (jujur). Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkan-nya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepa-da Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." (Al-Baqarah: 8-10)

Syarat kelima: Mahabbah (kecintaan). Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaima-na mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (Al-Baqarah: 165). Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahli syirik mencintai Allah dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illallah. 

Syarat keenam: Inqiyaad (Tunduk dan Patuh dengan kandungan Makna Syahadat). Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh." (Luqman: 22)
Al-'Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan makna yuslim wajhahu adalah yanqadu (patuh, pasrah).


Syarat Ketujuh: Qabul (menerima). Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyem-bah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selainNya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta'ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah: "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (Ash-Shafat: 35-36)
Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna laa ilaaha illallah.




0 komentar:

Posting Komentar